
RENCANA RELAKSASI LTV
JAKARTA-Sejumlah pengembang mengklaim penjualan proyeknya bakal terakselerasi sebesar 15% apabila pelonggaran kebijakan loan to value direalisasikan tahun ini. Mereka berharap revisi aturan rasio nilai kredit yang diberikan bank terhadap nilai agunan tersebut dapat disegerakan. Pelonggaran LTV dianggap sebagai angin segar terhadap sektor properti, yang mana telah berulang kali disuarakan oleh sejumlah asosiasi perumahan selama dua tahun terakhir. Pengetatan LTV menjadi salah satu kontributor melemahnya industri properti yang masih dirasakan hingga tahun ini, di samping pelemahan ekonomi, depresiasi rupiah, naik turunnya harga bahan bakar minyak, dan sejumlah revisi aturan perpajakan yang membebani. Bank Indonesia akhirnya berencana menerbitkan revisi LTV pada kredit kepemilikan rumah sekaligus kredit kendaraan bermotor pada semester I/2015.
Adapun kebijakan LTV mulai sejak 30 September 2013. Presdir PT Ciputra Residence Budiarsa Sastrawinata mengatakan pelonggaran LTV berdampak baik terhadap sektor properti dan industri pendukungnya. Pasalnya, pelonggaran LTV erat pengaruhnya dengan daya beli masyarakat, khususnya segmen menengah ke bawah. Dia mengklaim proyek perusahaan pada subholding 1 mayoritas adalah rumah tapak. Adapun potensi penggunaan sistem kredit pemilikan rumah (KPR) mencapai 60%. Jika dilonggarkan, kemampuan masyarakat membeli rumah bertambah. Dengan begitu, penjualan perusahaan bisa meningkat 15%. Relaksasi LTV, tentunya menggerakkan sektor pertumbuhan properti pada tahun ini yang beberapa kali diprediksi sedang tertekan. Menurut Budiarsa, pengembang lain dapat merencanakan pembangunan proyek lebih cepat dari sebelumnya yang sempat tersendat, khususnya pada proyek residensial. Direktur PT Jababeka Tbk. Suteja S. Darmono mengatakan revisi LTV oleh Bank Indonesia bakal memberi stimulus baru pada bisnis properti. Hal itu tentu memacu penjualan proyek residensial di sekitar kawasan industri Jababeka, Cikarang.
Pertumbuhan penjualan bisa meningkat 10%-15%. Menurutnya, dengan langkah ini pemerintah telah mempertimbangkan keringanan untuk membantu pertumbuhan bisnis properti lebih baik pada tahun ini. Tidak bisa dipungkiri bahwa pembayaran uang muka pada KPR pertama sebesar 30% adalah hal yang cukup memberatkan. Padahal, pengajuan KPR pertama umumnya merupakan kalangan yang paling membutuhkan rumah.
DITUNGGU PENGEMBANG
Presiden Direktur PT Eurika Prima Jakarta Tbk. Lukman Purnomosidi mengatakan kaji ulang pembatasan LTV inilah yang ditunggu oleh pengembang. Hal ini diklaim jauh lebih penting ketimbang penurunan BI Rate yang santer diberitakan beberapa waktu lalu. Pasalnya sejak 2013, kebijakan ini mengatur tentang kewajiban pembayaran uang muka KPR pertama sebesar 30%, KPR kedua 40%, serta KPR ketiga dan seterusnya sebesar 50%. Aturan itu memberatkan penjualan properti residensial dan menyendat kemampuan konsumen untuk memiliki rumah, tutur mantan Ketua Umum Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia periode 2004-2007 ini.
Seharusnya, kebijakan LTV harus dibuat bertahap, yang artinya, uang muka KPR rumah pertama diturunkan menjadi 10% saja. Lantaran pihak pembeli rumah pertama merupakan sosok yang membutuhkan papan tinggal. Selanjutnya, besaran uang muka dapat dibebankan kepada rumah kedua dan seterusnya dengan uang muka mulai dari 20%. Direktur PT Metropolitan Manajemen (Metland Group) Amran Nukman mengatakan sudah sewajarnya pemerintah mendukung sektor properti dengan relaksasi LTV. Kalau (pemerintah) mengeluarkan peraturan yang menghambat, nanti pemerintah sendiri yang repot. Pasalnya, industri properti menyumbang 10%-15% bagi pertumbuhan ekonomi negara. Kami tidak minta yang muluk-muluk. Cukup kembalikan LTV ke aturan semula, yaitu potensi kredit bank 80% terhadap nilai agunan, ujarnya. Hal itu berarti pembayaran uang muka kredit sebesar 20%, bukan 30%-50%, seperti pengetatan LTV yang kini berlaku. (Deliana Pradhita Sari)